Sejarah Majalah Tempo Bermula dari Modal Ciputra – Pengusaha nasional sekaligus ketua serta owner Grup Ciputra. Ciputra meninggal dunia di Rumah Sakit Gleneagles Singapura pada dini hari hari Rabu, 27 November 2019 pada umur 88 tahun. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Ciputra pernah mendanai untuk mendukung penerbitan majalah Tempo pada awal tahun tahun 1970-an.
Sejarah Majalah Tempo Bermula dari Modal Ciputra

Baca Juga : Menelisik Majalah Tempo Yang Melegenda di Indonesia
hns-info – Ciputra ialah salah 1 taipan real estate Indonesia. Selain membangun Grup Ciputra, ia juga owner Grup Jaya, Grup Metropolitan, Grup Pondok Indah serta Jaya Ancol. Masyarakat yang sering dipanggil Bai Ci tersebut juga membangun asosiasi real estate terbesar di Indonesia, Real Estate Indonesia (REI).
Pak Ci juga dikenal sebagai seorang dermawan serta kolektor lukisan semasa hidupnya. Selain itu, taipan berjuluk “Kuda kehidupan” itu juga berperan dalam membangun majalah berita “Tempo” pada tahun 1971.
Memodali Majalah Tempo
Pada November tahun 1970, Goenawan Mohamad (GM), Fikri Jufri serta Christianto Wibisono dipecat oleh Majalah Express karena dianggap terlalu kritis terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dari situ GM serta kawan-kawan mulai membuat majalah berita yang lebih idealis serta tak bias, seperti Time atau Newsweek.
Tetapi ada kendala yaitu masalah permodalan. Masing-masing berusaha mencari investor, tetapi gagal menemukannya. GM juga mengunjungi reporter senior Mochtar Lubis untuk menjajaki kemungkinan kerjasama, Tetapi gagal mencapai kesepakatan.
Ketika General Motors serta kawan-kawan hampir menyerah mencari investor, ada kabar baik dari mantan reporter Kompas, Lukman Setiawan. Menurut laporan, seorang pengusaha real estate sangat tertarik dengan ide penerbitan majalah tersebut. Siapa ia? Pak Ci.
Kala itu, Pak Ci dielu-elukan sebagai pengusaha real estate papan atas, sangat dekat dengan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. ia ialah kepala PT Jaya Development Grup (JDG), yang mengembangkan infrastruktur di bunda kota.
Kemudian JDG menjalin kontak dengan GM serta kawan-kawan melalui Yayasan Jaya Raya yang dipimpin langsung oleh Pak Ci.
Janet Steele di dalam Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia (2005), mengungkapkan, waktu itu Yayasan Jaya Raya termasuk berkeinginan menerbitkan majalah.
Sebelumnya, yayasan tersebut sudah mempunyai Majalah Jaya tetapi berhenti terbit terhadap tahun 1969. Tahun tahun 1970, Gubernur Ali Sadikin berharap yayasan tersebut menerbitkan majalah yang mengekspresikan stimulan zaman baru.
Pak Ci sesudah itu berharap Lukman Setiawan mengajak mereka bertemu. Ia lebih-lebih turun tangan sendiri menemui serta bernegosiasi bersama GM serta kawan-kawan. Kala itu Pak Ci sebenarnya belum mengenal GM tetapi cukup mengerti reputasi majalah Ekspres.
Pak Ci menyodorkan Rp18 juta kepada mereka. Perusahaan penerbit majalah Tempo yang pertama ialah Jaya Press yang merupakan anak usaha Yayasan Jaya Raya, tulis Janet Steele.
Pihak Pak Ci serta grup GM sepakat bahwa kepemilikan perusahaan bakal dibagi 50:50. Jaya Raya sediakan modal serta para wartawan itu menyumbangkan kekuatan jurnalistik mereka. Kesepakatan tersebut dibuat untuk menanggung kekebasan editorial, lepas dari keperluan pemodal.
Nama Tempo sendiri dipilih oleh GM serta kawan-kawan. Selain ringan diucapkan, nama itu termasuk dipandang netral serta bukan simbol suatu golongan.
Ivan Aulia Ahsan di dalam risetnya bertajuk “Pergulatan Si Malin Kundang: Pemikiran GM berkenaan Kebebasan, Kekuasaan, serta Demokrasi di dalam Caping Majalah Tempo (1977-1994)” menulis:
“Memang terlampau perlu untuk meyakinkan netralitas atau independensi sebuah media massa. Tempo lahir di dalam sebuah jaman dikala sentimen antipartai serta penolakan terhadap keperluan partai politik di dalam pers begitu kuat.”
Modal yang digelontorkan Pak Ci bukanlah duwit pribadinya, melainkan milik Yayasan Jaya Raya. Ia sendiri tak mempunyai saham teristimewa atau memegang kendali di perusahaan penerbitan Tempo. Sebagai representasi Yayasan Jaya Raya, Pak Ci menempatkan Eric Frits Samola sebagai direktur.h
Setelah terbit, Tempo terbilang berhasil menggerakkan misinya sebagai majalah yang kritis serta independen. Majalah Tempo yang lahir salah satunya berkat adil Ciputra tetap eksis Sampai detik tersebut, walau sempat diberangus rezim Soeharto terhadap 1994.
Baca Juga : Sejarah Seni Patung Italia
Asa Ciputra Memukul Diskriminasi rasial Melalui Lari Sertaamp; Bulu Tangkis
Tewasnya owner Ciputra Grup, Insinyur Ciputra, pada hari Rabu dini hari ialah awan mendung pekat untuk bangsa Indonesia . Menteri Erick Thohir sebut laki-laki lahir 24 Agustus tahun 1931 tersebut sebagai “tokoh yang udah membuahkan sejumlah karya bagi dunia properti.”
Sementara di mata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ciputra alias Pak Ci ialah “tokoh yang mempunyai anggapan perihal bagaimana langkah membuat bisnis sekaligus memanusiakan ciptaan-Nya.”
1 hal penting yang mampu diingat bersama: di balik adil besarnya untuk dunia properti, tak benar 1 warisan punya nilai lain yang ditinggal Pak Ci ialah cinta serta dedikasinya untuk olahraga.
Dalam biografinya, Passion of My Life, Pak Ci dulu sebabkan kesaksian, bahwa tanpa olahraga, kemungkinan dirinya tak akan sesukses sekarang.
“Barangkali, karena itulah [olahraga] selagi pertama di dalam diri aku menjadi tumbuh obsesi untuk berprestasi,” aku ia.
‘Si Cina’ yang Berlari Cepat Sekali
Lari ialah olahraga yang jadi cinta pertama Pak Ci. Romantisme Pak Ci dengan olahraga yang cuma perlu modal 2 kaki telanjang tersebut diawali dari pengalaman getir: kerinduan pada kampung halaman.
Cerita itu diawali pada 1937, selagi Pak Ci harus turut bundanya, Lie Eng Nio, rubah tempat tinggal dari kampung halamannya di Parigi, pulau Sulawesi Tengah ke provinsi Gorontalo. Kepindahan itu merupakan tak benar 1 cobaan paling berat bagi kehidupan Pak Ci yang tetap berusia enam tahun.
“Kehidupan di provinsi Gorontalo lebih mudah. Aku tak harus mencangkul kebun, tak harus menghindar panas untuk menyiangi sawah. Tetapi, aku udah kadung kehilangan suatu hal yang mengakar di diri Aku: berburu dengan anjing-anjing Aku. Betapa rindunya aku berlari menerobos hutan, menebas semak belukar, dengan kaki telanjang serta juga duri perdu menusuk-nusuk telapak kaki Aku,” aku Pak Ci (2018:94).
Tanpa berburu, selain rindu, Pak Ci menjadi kekuatannya sebagai bocah belia terbuang percuma. “Aku termasuk jadi was-was kecuali diri aku kembali jadi lemah serta manja.”
Beberapa pekan setelah hari-hari awalnya di provinsi Gorontalo, dari jendela rumahnya, Pak Ci tak sengaja mengintip segerombolan anak mengembangkan senyum mereka setelah berolahraga. Kala itulah ia layaknya menerima wahyu yang turun dari langit. Hanya 1 hal yang melintas di benak Pak Ci: anak-anak itu pasti habis berlari.
“Riang betul mereka. Keringat tengah membanjiri serta tampaknya mereka tengah bahagia. Tiba-tiba aku terketuk. Berlari! Ya, kenapa aku tak berlari. Energi aku harus keluar, serta aku harus memacu diri,” gumam Pak Ci dalam hati.
Maka, Semenjak hari itu, tiap-tiap hari sekitar pukul 04.00 pagi, Pak Ci rutin berlari layaknya anak-anak yang lain. ia membiasakan kakinya bercengkrama langsung dengan aspal provinsi Gorontalo. Berawal jaraknya dekat, semakin lama dalam sekali lari pagi ia mampu menempuh jarak belasan kilometer.
Menariknya, Pak Ci tak dulu terlambat sekolah pula meski terus berlatih tiap-tiap pagi. Ketika jam menyatakan 7.00, tempatnya tak kembali di jalanan, Tetapi di bangku kelas.
Tak dinyana kebiasaan itu buat Pak Ci jadi biasa serta piawai berlari. Sampai bertahun-tahun sesudah itu banyak Masyarakat provinsi Gorontalo serta Manado–salah 1 wilayah lain tempat Pak Ci dulu tinggal–menyadari kecuali Pak Ci mempunyai bakat adu cepat di atas aspal.
Sebagai keturunan rasial Tionghoa, Pak Ci kecil sering menjadi ia menerima stigma serta pandangan jelek dari masyarakat setempat. Seolah-olah ia berada di tatanan yang lebih rendah ketimbang ‘Masyarakat pribumi,’ makna yang jadi label istimewa selagi itu. Tetapi, Semenjak bakat larinya dikenal Masyarakat, diskriminasi itu seolah tak kembali dirasakan Pak Ci.
Pak Ci studi 1 hal baru: olahraga mampu menghapus segala bentuk diskriminasi.
“‘Lihat si Cina itu cepat sekali berlari,’ begitu kata Masyarakat. Tetapi anehnya aku tak merasakan diskriminasi dalam langkah mereka sebut aku sebagai ‘Cina’. Mereka justru respek karena jarang tersedia Masyarakat Tionghoa yang mampu berlari layaknya Aku,” kenang Pak Ci (2018:97).
Semenjak selagi itu, Pak Ci menjadikan olahraga sebagai layanan untuk menghapus bermacam pengalaman buruknya sebagai minoritas di masa kecilnya.
Pak Ci selalu turut kompetisi lari lokal Gorotalo serta Manado pada no 800 serta 1500 m. Tak jarang ia mencetak prestasi. Puncaknya, Pak Ci Sampai dulu turun sebagai wakil pulau Sulawesi Utara di Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun 1952.
Pengabdian Melalui Jaya Raya
Pak Ci sebenarnya tak jadi atlit profesional Sampai tua. Dunia pendidikan serta bisnis, pada kelanjutannya ialah jalur yang ia tempuh. Tetapi, Pak Ci mengaku seumur kehidupan tak mampu mengabaikan pengalaman spiritualnya dikala dikenal sebagai Masyarakat Cina yang berlari cepat sekali.
“Semenjak selagi itu [sampai seterusnya] aku tak menjadi terhina kembali dikala Masyarakat memanggil aku Cina.” (2018:426).
Alasan itu pula yang sesudah itu jadi basic Pak Ci untuk kembali ke dunia olahraga. Kali tersebut Melalui jalur yang cocok bidangnya: bisnis serta pendidikan.
Pada tahun 1969, Gubernur DKI selagi itu, Ali Sadikin berkunjung kepada Pak Ci dengan ajakan membangun yayasan untuk membina atlit sepakbola serta atlit bunda kota. 2 olahraga tersebut, diangap Ali penting bagi Jakarta karena mempunyai popularitas tinggi, Tetapi di selagi sejalan minim prestasi.
“Kau pasti mampu menanggulangi tersebut. Kau Masyarakat yang tepat,” kata Ali selagi itu memastikan Pak Ci.
“Kalau diajak bicara olahraga, hati aku cepat tersambar. Olahraga itu mempunyai kekuatan ajaib yag menghidupkan,” kenang Pak Ci mengupas selagi tawaran berikut datang, (2018:427).
Berbekal dorongan serta keyakinan dari sang gubernur, pada tahun 1970 Pak Ci sesudah itu memprakarsai Yayasan Jaya Raya. Yayasan tersebut dibangun atas kerjasama dari Pemerintah DKI Jakarta serta PT Pembangunan Jaya, perusahaan punya Pak Ci. Pak Ci menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus, selagi Ali jadi Ketua Dewan Pengawas.
Yayasan Jaya Raya awalnya menaungi sepakbola serta atlit saja, sebagaimana keinginan Ali. Klub sepakbola yang dinaungi bernama Jakarta Raya. Team tersebut pula yang jadi kawah candra dimuka bagi nama-nama pesepakbola legendaris timnas, layaknya Anjas Asmara serta Sofyan Hadi.
Kendati sukses, Sampai nyaris empat th. berjalan Pak Ci tak merasakan keselarasan dengan 2 olahraga tersebut. Pada 1975, Pak Ci sesudah itu berharap kepada Ali sehingga diberi izin rubah mengurus olahraga lain: bulu tangkis.
“Alasannya jelas, Semenjak lama aku terpesona dengan sinar yang disemburkan para atlit bulu tangkis. Keberhasilan mereka raih Piala Thomas 1958 tetap sebabkan aku kagum,” Cerita Pak Ci.
Ali merestui keinginan tersebut. Kemudian lahirlah klub bulu tangkis PB Jaya Raya pada tahun 1976.
Pak Ci tak ketinggalan merangkul sederet mantan atlit bulu tangkis untuk mengurus langsung Team tersebut. Rudy Hartono menjabat ketua sekaligus ketua bidang teknik, Retno Kustiyah jadi sekretaris merangkap bendahara, Atik Jauhari serta Ridwan jadi pelatih.
Di tahun-tahun awal PB Jaya Raya mengalami banyak keserahan. Mereka Sampai harus menyewa lapangan Soemantri Brodjonegoro untuk latihan sehari-hari. Soal kantor sekretariat, mereka awalnya bahkan cuma bermarkas di tempat tinggal Rudy Hartono. Baru setelah beberapa th. klub tersebut mempunyai asrama sendiri di Ragunan.
Tahun 1980 klub tersebut bahkan nyaris tutup. Mereka cuma mempunyai 1 atlit yang tetap bertahan, seorang wanita yang termasuk berasal dari rasial Tionghoa layaknya Pak Ci. wanita itu bernama Susi Susanti.
Tetapi sejalan berjalannya waktu, wanita itu pula yang sebabkan semua dunia bertekuk lutut pada Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992. Jumlah prestasi serta medalinya udah terlampau sulit dihitung, nama Susi kini bahkan udah ditasbihkan sebagai legenda.
Moncernya Susi diikuti bermunculannya atlit-atlit berprestasi lain dari PB Jaya Raya. Di antaranya Mia Audina, Tony Gunawan, Canda Saputra, Sigit serta Halim Budiarto, Deyana Lomban, Markis Kido, Sampai pebulutangkis yang selagi tersebut tetap aktif di jajaran elite dunia, Hendra Setiawan.
Menurut informasi di laman resminya, atlit-atlit binaan PB Jaya Raya dulu menyumbang tak tak cukup dari 3 emas olimpiade, 8 emas kejuaraan dunia, 1 Piala Sudirman, 19 gelar All England, 10 emas Asian Games, 3 Piala Uber, 3 kali gelar juara Team di Superliga Badminton, 30 emas SEA Games, serta 2 Kejuaraan Jaya Cup dan 5 kali kampiun Kejurnas, .
Pak Ci sendiri, Sampai umur senjanya tetap sering mengintip kiprah atlit-atlit PB Jaya Raya, baik dari jauh maupun dekat.
Dalam autobiografi pertamanya, Quantum Lea Pak Ci bahkan sempat menceritakan pengalaman datang langsung di final bulu tangkis Olimpiade Beijing 2008, selagi usianya udah menyentuh angka 77.
Pak Ci awalnya tak mempunyai niatan tertentu untuk berkunjung melihat atlit didikan PB Jaya Raya. Tetapi, seolah dipertemukan takdir, selagi itu di final ganda putra atlit yang jadi wakil Indonesia ialah sepasang Hendra Setiawan serta Markis Kido. Keduanya melawan sepasang Cai Yun/Fu Haifeng, asal Cina, negara leluhur Pak Ci.
Hendra/Markis tampil perkasa dalam partai yang dihelat di Gelanggang Olahraga Universitas Teknologi Beijing tersebut. Sempat kalah 12 hingga 21 di set pertama, mereka melibas lawan dengan skor 21 hingga 11 serta 21 hingga 16 pada 2 gim terakhir. Medali emas dibawa pulang Indonesia.
“Tubuh aku gemetar membayangkan bendera merah putih berkibar di kandang lawan serta lagu Indonesia dilantunkan di area yang terlampau terhormat,” tulisnya (2008:120).
Pak Ci, sesudah itu mengenang kejadian hari itu sebagai tak benar 1 peristiwa ajaib yang sebabkan semangatnya terus berkobar Sampai berusia kepala delapan.
“Itulah yang sebabkan aku terus bersemangat di umur senja Aku menggenggam sebuah asa, sehingga apa yang aku laksanakan mampu jadi sebuah warisan yang punya nilai untuk bangsa yang aku cintai. Bangsa Indonesia yang agung,” pungkasnya.